Halaman

Senin, 30 Mei 2011

AQIQAH DAN HUKUM SEPUTAR ANAK BARU LAHIR

Oleh : Sulhan Habib

        I.            Pengertian Aqiqah
Secara pendekatan lughawiyah (bahasa) aqiqah mempunyai arti rambut yang dimiliki oleh bayi. Telah membudaya dan menjadi tradisi orang Arab ketika memberi nama sesuatu selalu ditalikan dengan nama penyebabnya atau hal yang berkaitan erat denganya.
Karena hewan aqiqah ini disembelih pada saat pencukuran rambut bayi, maka dipinjamlah kata tersebut untuk memberi nama ritual ibadah ini. Sedangkan menurut syariat Islam aqiqah adalah hewan sembelihan yang dipotong pada hari ketujuh kelahiran anak[1].
      II.            Hukum dan Landasan Aqiqah
Para fuqaha’ (pakar hukum) berbeda pendapat tentang permasalahan hukum aqiqah. Perbedaan mereka dikarenakan berangkat dari pemahaman terhadap beberapa hadist yang berbeda. Madzab Hanafiyah mengatakan bahwa hukum aqiqah adalah cuma mubah saja. Umat islam bebas diperkenankan untuk melakukan dan meninggalkan ritual aqiqah ini.  Dasar dari pendapat mereka adalah sebuah atsar (perkataan) sayidah A’isah
نسخت الاضحية كل ذبح كان قبلها
 ‘pensyariatan kurban telah menyalin dan mengamandemen semua bentuk ibadah persembelihan sebelumnya’. [2]
            Suatu hal yang pasti bahwa saidah A’isah mengatakan demikian adalah bukan dari aktifitas ijtihad (penggalian hukum sendiri) yang dilakukan oleh beliau, akan tetapi memang ada interaksi dan mendengar langsung dari Rasulullah SAW. Karena proses nasakh (amandemen hukum) tidak bisa dilakukan dengan ijtihad, namun harus ada doktrin langsung dari nas al-Quran atau Hadist.[3]
            Sedangkan mayoritas para ulama berpendapat bahwa bagi seorang ayah atau orang yang kewajiban memberikan nafkah disunahkan menyembelih hewan aqiqah untuk bayi yang baru lahir.  Karena ada sebuah riwayat dari Ibnu Abas
عق عن الحسن و الحسين عليهما السلام كبشا كبشا
Rasulullah telah melakukan ibadah ritual aqiqah dengan menyembelih kambing untuk masing-masing Hasan dan Husain a.s.
Dan sabda Rasululah
كل غلام رهينة بعقيقته, تذبح عنه يوم سابعه, ويسمي فيه, ويحلق رأسه
Setiap anak itu digadaikan dengan aqiqahnya, yang disembelih untuknya pada hari ketujuh kelahiran, dengan memberikanya sebuah nama, dan mencukur rambut kepalanya.
    III.            Hikmah Aqiqah
Aqiqah adalah bentuk rasa bersukur atas nikmat yang telah diberikan Allah kepada hambanya dalam bentuk rizqi seorang anak. Dengan mendapatkan nikmat tersebut seorang yang melaksanakan ibadah aqiqah diharapkan dapat berbagi kesenangan kepada para kerabat, tetangga, dan teman dekat sehingga menumbuhkan ikatan rasa cinta kasih di hati mereka.
   IV.            Kriteria Hewan Aqiqah
Jenis, umur, dan persyaratan pada hewan aqiqah adalah sama persis dengan hewan yang akan dijadikan kurban. Hanya saja dalam aqiqah lebih diprioritaskan pada persembelihan kambing, karena hal inilah yang telah dilakukan oleh Rasul untuk Hasan dan Husein. Jika bayi yang dilahirkan adalah laki-laki maka aqiqahnya dengan dua kambing, sedangkan bila bayi perempuan maka aqiqahnya dengan satu kambing saja. Demikian ini berdasarkan hadist yang telah diriwayatkan oleh Saydah A’isah
 مكافئتان وعن الجارية شاة عن الغلام شاتان
Ketika bayi laki-laki adalah dengan dua kambing yang tercukupi dan jika bayi perempuan hanya dengan  satu kambing.
Walaupun ketentuan yang sudah berlaku demikian akan tetapi hukum Islam ini tidaklah bersifat keras dan kaku, oleh sebab itu jika seseorang hanya mampu  menyembelih satu kambing untuk satu bayi laki-laki maka sudah mendapat pahala sunah meskipun tidak sepenuhnya. Tatacara meyembelihnya-pun juga tidak disyaratkan dua sekaligus, tetapi boleh dengan diangsur satu-persatu. Di satu sisi, jenis hewan aqiqah yang disembelih tidak hanya dikhususkan pada kambing, bahkan seseorang diperkenankan menyembelih sapi atau unta untuk tujuh anak perempuan.
     V.            Waktu Penyembelihan Aqiqah
Pada dasarnya dan sudah menjadi sunah dari Nabi bahwa waktu penyembelihan hewan aqiqah dilakukan pada hari ketujuh kelahiran dengan memulai perhitunganya dari hari kelahiran bayi, bila bayi dilahirkan pada waktu malam hari, maka permulaan hitungan dimulai pada siang hari sesudahnya. Akan tetapi dari madzab Syafi’I dan Hanbali berpendapat bahwa penyembelihan hewan aqiqah boleh dan dianggap syah dilaksanakan sebelum dan sesudah hari ketujuh yang tidak sampai melebihi waktu baligh. Bahkan imam Qafal dan imam Syasyi serta didukung oleh sebagian golongan madazab Hambali berpendapat bahwa seseorang diperkenankan dan disunahkan untuk melaksanakan ritual aqiqah untuk dirinya sendiri, karena ada  sebuah hadist yang diriwayatkan dari imam Baihaki bahwa Nabi pernah melaksanakan aqiqah untuk dirinya sendiri sesudah diangkat jadi nabi.[4]
   VI.            Hukum Daging Hewan Aqiqah
Hukum daging pada hewan aqiqah sama persis dengan hukum hewan kurban, yaitu diperbolehkan untuk memakan sebagian dan memberikan sisanya kepada orang lain. Akan tetapi dalam aqiqah lebih disunahkan untuk dimasak terlebih dahulu sebelum dibagikan kepada orang lain. Sedangkan mengadakan resepsi walimah (acara makan-makan bersama) dengan mengundang tetangga sekitar hukumnya adalah khilaful aula (tidak sesuai dengan sesuatu yang diutamakan), karena anjuranya adalah dengan membagikan langsung kerumah para tetangga bukan mengundangnya, bahkan madzab Maliki menghukumi makruh hal tersebut. [5]
 VII.            Hukum-Hukum yang Berkaitan dengan Maulud (anak baru lahir)’
Hukum-hukum yang berkaitan dengan anak yang baru lahir sangat banyak sekali, akan tetapi yang paling penting diantaranya adalah:
a)      Mendedangkan suara adzan di kuping bayi sebelah kanan, dan menyuarakan iqamah di kuping sebelah kiri. Hal ini disunahkan, selain untuk ittiba’ (ikut perilaku Rasul) juga untuk menanamkan pondasi tauhid di hati bayi. Di sisi lain juga dianjurkan untuk membaca doa di kuping sebelah kanan, yaitu “ Inni u’idzuha bika wadzurriyataha minas syaithanir rajim”, (sesungguhnya saya meminta pada-Mu untuk menjaga bayi dan keturunanya dari syaitan yang terlaknat). Di musnad ibn Razin juga diterangkan supaya ditambah dengan membacakan surat al-ikhlas di kuping sebelah kanan.[6]
b)      Mencenta’inya dengan kurma atau suatu hal yang manis pada hari ketujuh kelahiran. Tata cara centa’ adalah seseorang mengunyah terlebih dahulu buah kurma atau sesuatu yang manis sampai lembut kemudian mengeluarkanya dan menyuapkan kepada bayi sampai tertelan. Mencenta’I ini sebaiknya dilakukan oleh orang alim dan shaleh supaya diharapkan bisa menularkan barokahnya.
c)      Memberikan nama baik kepada bayi pada hari ketujuh kelahiran atau saat hari kelahiran ketika tidak menghendaki untuk menyembelih hewan aqiqah pada hari ketujuh. Nama-nama yang paling utama adalah dengan menggunakan nama Abdullah, Abdur Rahman, dan nama-nama yang disandarkan pada Allah atau asma’ul husna. Selain itu juga disunahkan menggunakan nama yang diawali dengan Muhamad, nama-nama nabi dan para malaikat.
d)      Mencukur keseluruhan rambut bayi sesudah penyembelihan hewan aqiqah, setelah itu menimbang rambut tersebut dengan berat emas atau perak dan kemudian disedekahkan kepada fakir miskin.

DAFTAR PUSTAKA

Zuhaili, Wahbah, 1997, “FIQHUL ISLAMI”, Beirut; Darul Fikr.
Al-Nawawi,1996, Al- MAJMU’, Beirut, Darul Fikr.
Al Syarbani, Syamsudin Muhamad ibn al-Khathbi, 1997, “Mughnil Muhtaj”, Beirut; Darul Fikr.


[1] Wahbah Zuhaili, 1997, “FIQHUL ISLAMI”, Beirut; Darul Fikr, vol 4, hlm : 2745
[2] Ibid
[3] Badai’us Shanai’
[4] Al-Nawawi,1996, Al- MAJMU’, Beirut, Darul Fikr, vol 8, hlm 322-323
[5] Op.Cit, Wahbah Zuhaili
[6] Syamsudin Muhamad ibn al-Khathbi al Syarbani, 1997, Mughnil Muhtaj, Beirut; Darul Fikr, vol 4, hal 394-396.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Sulhan Habib adalah mutakharrij pondok APIS Blitar dan sekarang sedang menempuh S1 di STAI Ma'had Aly Al-Hikam Malang.