Halaman

Senin, 30 Mei 2011

PENGERTIAN DAN CAKUPAN ILMU FIQIH

                                                                                                 Oleh: Sulhan Habib
Fiqih secara bahasa adalah alfahmu (pemahaman), adapun secara istilah adalah memahami hukum syariat yang bersifat amaliah yang dikaji melalui dalil-dalilnya terperinci[1]. Jadi pakar fikih seseorang yang mendalami dan punya keahlian dalam hukum-hukum syariat dengan dalil-dalilnya secara terperinci. Istilah ini dalam bahsa Arab terkenal dengan sebutan faqih dengan bentuk jama’ fuqaha’.

Penggunaan istilah fiqih pada awalnya tidak hanya terbatas pada suatu disiplin ilmu yang berkaitan dengan persoalan hukum-hukum sebagaimana yang terjadi pada saat ini. Ketika di jaman Rasulullah, segala persoalan yang terjadi di tengah-tengah para shahabat baik yang menyangkut hukum atau yang lain bisa diselesaikan secara langsung oleh Nabi dengan bimbingan wahyu atau penalaran beliau tentang wahyu. Namun sepeninggal beliau persoalan kaum muslimin baik secara kualitas dan kuantitas semakin meningkat. Hal ini seiring dengan semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam dan tersebarnya ajaran Islam keberbagai daerah yang kondisi sosial budaya sudah tidak sama dengan kondisi sosial pada masa Rasul dan shahabat. Selain itu disebabkan banyakanya bangsa-bangsa diluar Islam yang memeluk agama Islam, sehingga terjadi perpaduan berbagai ragam budaya dan pemikiran. Dengan demikian persoalan yang terjadi tidak hanya terfokus pada masalah hukum, tetapi juga aqidah, budaya, dan yang lain.[2]
Istilah fiqih kemudian telah mengkristal menjadi sebuah disiplin ilmu dan salah satu doktrin terpenting dalam Islam. Bahkan pada sekarang semua pemahaman terhadap al-Quran dan Hadits nabi, baik menyangkut hukum, teologi akhlak dikategorikan sebagai fiqih. Pendek kata bahwa terminology fiqih pada saat itu telah berorientasi pada tafaqquh fiddin, suatu pemahaman yang mencakup semua sisi ajaran Islam.[3]
Untuk memperjelas pemaknaan fiqih pada periode ini, dalam sebuah hadits, Nabi pernah mendoakan keponakanya Ibn Abbas, “Allahumma faqqihhu fi addin” (Ya Allah berilah dia pemahaman tentang agama)[4]. Dari sini tampak sekali bahwa Nabi tidak menegaskan suatu pengertian fiqih pada makna yang eksklusif tentang hukum, namun lebih sebagai suatu pemahaman yang mendalam tentang agama secara umum yang mencakup semua dimensi agama. Oleh karena itu, tak heran jika pada masa sahabat telah muncul berbagai corak pemahaman terhadap Al-Quran dan Hadits yang dimasukkan dalam kategori fiqih. Sejarah telah mencatat ada fiqih Umar Ibn Khattab, fiqih Abdullah Ibn Mas’ud, fiqih Ibn Abbas, fiqih Aisah dan lain-lain.
Bahkan menurut Prof Ahmad Hasan dalam bukunya -The Early Development of Islamic Jurisprudence- sebagaimana dikutip oleh Mun’im Sirri bahwa terminology fiqih belum dipahami sebagai suatu kajian yang berpekstrum khusus hingga masa pemerintahan Makmun. Hal ini bisa terbukti bahwa dalam kitab Fiqhu al-Akbar karya imam Hanifah bukan saja memasukkan persoalan fiqhiyah, akan tetapi juga masalah-masalah akidah dan akhlak, bahkan materi akidah justru paling dominan di sana.[5]
Baru setelah imam Syafi’I mengarang kitab al-Um, yang di dalamnya membahas pendapat-pendapat yang berhubungan dalil-dalil dan argumentasi dari pendapat, mulailah ilmu fiqih lebih spesifik membahas hanya masalah-masalah yang berkaitan tentang hukum. Kitab al-Um adalah induk dari segala pemahaman yang berkenaan dengan Islam, dari persoalan ibadah, muamalah, hingga persoalan kenegaraan. Kitab ini sebagai rujukan utama dari murid-murid Imam Syafi’I dalam mengarang kitab, sehingga banyak kitab fiqih yang tersebar dikalangan umat Islam dengan model pensyarahan kitab mukhtashar.[6]
Setelah kitab-kitab yang berkaitan dengan fiqhiyah telah tersebar dikalangan umat Islam, kemudian mereka yang sudah ahli di bidang ini terkenal dengan sebutan faqih, artinya orang yang benar-benar mampu di bidang fiqih. Pada saat itu istilah faqih telah menuai makna teknisnya, yakni ulama yang memfokuskan diri pada persoalan-persoalan fiqih. Sedang fiqih berarti norma-norma hukum yang mengatur kehidupan manusia.[7]
DAFTAR PUSTAKA
Bakar, Abu, 1992, “I’ANATUT THALIBIN”, Beirut, Darul Fikri,
Nasih, Ahmad Munjin, “Kajian Fiqih Sosial dalam Bahsul Masail”,  Tesis,
Luthfi, Assyaukani,. 1998. Politik, Ham, dan Isu-isu Teknologi dalam Fiqih Kontemporer”. Bandung, Pustaka Hidayah,
Sirri, Mun’im A.,1995, “Sejarah Fiqih Islam”, Surabaya, Risalah Gusti,





[1] Abu Bakar, 1992, “I’ANATUT THALIBIN”, Beirut, Darul Fikri, hlm 21
[2] Assyaukani, Luthfi. 1998. Politik, Ham, dan Isu-isu Teknologi dalam Fiqih Kontemporer”. Bandung, Pustaka Hidayah, hlm xi
[3] Mun’im A. Sirri,1995, “Sejarah Fiqih Islam”, Surabaya, Risalah Gusti, hlm 11
[4] Ibid
[5] Ibid
[6]  Ahmad Munjin Nasih, “Kajian Fiqih Sosial dalam Bahsul Masail”,  Tesis, hlm 28
[7]  Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Sulhan Habib adalah mutakharrij pondok APIS Blitar dan sekarang sedang menempuh S1 di STAI Ma'had Aly Al-Hikam Malang.